JAKARTA - Generasi muda Jepang, terutama dari kelompok Gen Z, tengah menjadi sorotan publik dengan fenomena yang disebut quiet quitting. Istilah ini menggambarkan sikap pekerja yang hanya melakukan pekerjaan sesuai tugas pokok tanpa terlibat lebih jauh dalam hal-hal di luar tanggung jawab mereka. Fenomena ini mencerminkan penolakan terhadap budaya kerja berlebihan yang telah lama menjadi bagian dari sistem kerja di Jepang.
Fenomena quiet quitting bukan berarti karyawan secara fisik berhenti dari pekerjaan mereka. Namun, mereka menarik batas yang tegas antara kehidupan pribadi dan profesional. Mereka menolak budaya hustle yang mendorong pekerja untuk "hidup untuk bekerja", dan sebagai gantinya, lebih memilih keseimbangan hidup yang sehat.
“Kami ingin menikmati sekarang, melakukan apa yang ingin kami lakukan sekarang,” ujar Yuki Sato, seorang pekerja muda Jepang dari perusahaan barang konsumen, seperti dikutip dari media lokal. Sato mengakui bahwa dirinya masih bekerja lembur dua setengah jam setiap hari, namun menyadari pentingnya membatasi beban kerja demi kesehatan mental.
Alasan di Balik Quiet Quitting di Jepang
Menurut pengamatan dari berbagai media dan analis ketenagakerjaan, ada sejumlah alasan utama mengapa fenomena quiet quitting berkembang di kalangan pekerja muda Jepang:
Kesadaran akan Kesehatan Mental
Pandemi COVID-19 telah memperkuat kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan mental. Gen Z kini lebih sadar bahwa jam kerja berlebihan dapat berujung pada stres, burnout, hingga fenomena "karoshi" istilah Jepang untuk kematian akibat kerja berlebihan.
Dorongan untuk Keseimbangan Hidup dan Kerja
Tidak seperti generasi sebelumnya yang memprioritaskan loyalitas mutlak kepada perusahaan, Gen Z Jepang cenderung menginginkan waktu untuk kehidupan pribadi, termasuk keluarga, hobi, dan kesehatan diri.
Budaya Korporat yang Kaku dan Lembur Tanpa Bayaran
Budaya hierarki yang kaku dan ekspektasi untuk tetap bekerja meski di luar jam kantor membuat banyak anak muda merasa tidak dihargai secara proporsional. Kondisi ini membuat mereka menarik diri dari semangat kerja ekstra yang tidak mendapat penghargaan sepadan.
“Saya pulang kerja, saya lelah, jadi saya tidur. Biasanya seperti ini,” kata Sato, menjelaskan rutinitasnya yang monoton akibat tekanan pekerjaan.
Dampak Quiet Quitting terhadap Dunia Kerja
Fenomena ini membawa dampak luas, baik positif maupun negatif, terhadap struktur ketenagakerjaan dan budaya organisasi di Jepang.
Dampak Positif:
Kesejahteraan Karyawan Meningkat
Dengan menetapkan batasan antara hidup dan kerja, karyawan bisa lebih fokus menjaga keseimbangan emosional dan fisik mereka, yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas saat jam kerja.
Dorongan untuk Perubahan Budaya Organisasi
Perusahaan mulai sadar pentingnya menciptakan lingkungan kerja yang lebih fleksibel dan berorientasi pada manusia (human-centric).
Dampak Negatif:
Penurunan Partisipasi dan Motivasi
Manajemen perusahaan mungkin melihat fenomena ini sebagai kurangnya semangat, dedikasi, atau loyalitas, yang dapat memengaruhi penilaian terhadap karyawan.
Tantangan dalam Kerja Tim dan Inovasi
Minimnya partisipasi sukarela di luar tugas pokok bisa memperlemah semangat kolaborasi dan pertukaran ide di antara tim.
Gen Z dan Pandangan Baru terhadap Dunia Kerja
Berbeda dari generasi sebelumnya yang menilai kesuksesan dari stabilitas kerja jangka panjang, Gen Z lebih berorientasi pada kualitas hidup, fleksibilitas, dan makna pekerjaan. Mereka tidak lagi termotivasi oleh posisi atau gaji semata, melainkan juga oleh nilai dan dampak pekerjaan terhadap kehidupan mereka.
Seiring dengan itu, banyak perusahaan Jepang mulai berbenah, dari menerapkan jam kerja fleksibel hingga mempromosikan program kesehatan mental. Ini menunjukkan bahwa perubahan yang dibawa oleh Gen Z memiliki dampak nyata terhadap evolusi dunia kerja di Jepang.
Saatnya Perusahaan Berubah
Fenomena quiet quitting di kalangan Gen Z Jepang menunjukkan bahwa pendekatan tradisional dalam mengelola tenaga kerja sudah tidak lagi relevan di era modern. Perusahaan dituntut untuk menyesuaikan budaya kerja mereka agar tetap dapat mempertahankan talenta muda, sekaligus menjaga produktivitas dan loyalitas pegawai.
Membangun keseimbangan antara harapan perusahaan dan kebutuhan pribadi karyawan kini menjadi kunci sukses di tengah dinamika pasar kerja pasca-pandemi.