Kenapa Banyak Orang Bertahan dalam Hubungan Toxic yang Menyakiti Hati dan Mental

Rabu, 15 Oktober 2025 | 09:59:28 WIB
Kenapa Banyak Orang Bertahan dalam Hubungan Toxic yang Menyakiti Hati dan Mental

JAKARTA - Hubungan yang seharusnya menjadi tempat aman justru bisa berubah menjadi sumber luka mendalam. Istilah “hubungan toxic” kini sering digunakan untuk menggambarkan kondisi relasi yang membuat seseorang merasa tertekan, kehilangan harga diri, bahkan tidak lagi mengenali dirinya sendiri.

Meski sadar bahwa hubungan itu tidak sehat, banyak orang justru memilih bertahan. Hal ini tidak semata karena cinta, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor psikologis yang mengikat seseorang secara emosional dengan pasangannya atau lingkungannya.

Menurut dr. Hilda Marsela, Sp.KJ, psikiater dari RS Dr. Soeharto Heerdjan, hubungan toxic tidak selalu disebabkan oleh individu yang buruk. Ia menegaskan bahwa yang merusak bukanlah orangnya, melainkan dinamika di antara dua individu yang menciptakan dampak negatif pada kesehatan mental dan emosional.

“Toxic itu bukan orangnya yang toxic, tapi hubungannya yang toxic. Jadi, bukan berarti ada orang yang toxic, tapi hubungan antara dua individu ini bisa menghasilkan hal yang tidak sehat bagi kesehatan mental dan emosional,” ujarnya dalam program Radio Kesehatan Kemenkes RI bertajuk Tetap Waras di Tengah Hidup yang Keras.

Hubungan semacam ini bisa terjadi di mana saja, tidak hanya dalam hubungan romantis. Pertemanan, lingkungan kerja, bahkan relasi keluarga pun bisa menjadi toxic ketika pola interaksinya menekan dan membuat seseorang kehilangan rasa aman serta makna diri.

Mengapa Seseorang Sulit Lepas dari Hubungan Toxic

Tidak sedikit orang yang sadar bahwa hubungan mereka menyakitkan, namun tetap bertahan di dalamnya. Menurut dr. Hilda, kondisi ini sering kali disebabkan oleh faktor psikologis seperti rendahnya rasa percaya diri atau keterikatan emosional yang tidak sehat.

“Misalnya ada seorang perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, tapi masih bertahan karena ia punya self-esteem rendah,” ungkapnya. Banyak dari mereka merasa tidak mampu hidup tanpa pasangannya karena validasi diri yang mereka butuhkan hanya berasal dari orang tersebut, meskipun pasangannya bersikap kasar.

Dalam dunia psikologi, fenomena ini dikenal sebagai insecure attachment atau pola keterikatan tidak aman. Individu dengan pola ini cenderung takut ditinggalkan, sangat bergantung secara emosional, dan sulit membangun hubungan baru.

“Biasanya mereka memiliki insecure attachment. Jadi ada ketakutan untuk ditinggalkan atau tidak bisa menjalin hubungan lain,” jelas dr. Hilda. Dalam beberapa kasus, seseorang juga bisa terjebak karena sudah terlalu lama terbiasa dengan pola hubungan yang salah.

Ketika siklus toxic ini terjadi berulang-ulang, seseorang menjadi terbiasa dan sulit memutus rantai yang menyakitkan tersebut. “Ada juga yang sudah lama terjebak dalam hubungan seperti itu, jadi terbiasa dengan pola yang salah dan sulit memutus siklusnya,” tambahnya.

Dampak Hubungan Toxic pada Kesehatan Mental

Hubungan yang tidak sehat bukan hanya melelahkan secara emosional, tapi juga bisa menimbulkan gangguan mental jangka panjang. Stres berkepanjangan yang tidak diatasi dapat berkembang menjadi depresi, kecemasan, bahkan trauma psikologis.

“Orang yang berada dalam hubungan toxic bisa kehilangan kontrol terhadap dirinya sendiri. Ia mulai sulit membedakan mana kebutuhan dirinya dan mana tuntutan pasangannya,” kata dr. Hilda.

Dalam kondisi ini, seseorang cenderung menomorduakan dirinya demi mempertahankan hubungan yang sebenarnya sudah merusak. Akibatnya, mereka perlahan kehilangan rasa berharga, menarik diri dari lingkungan, dan hidup dalam ketakutan atau rasa bersalah yang terus-menerus.

Jika dibiarkan, kondisi tersebut dapat menggerus kesehatan mental hingga membuat individu kehilangan semangat hidup. Hubungan yang seharusnya menjadi tempat berbagi kasih sayang justru berubah menjadi sumber penderitaan yang mendalam.

Langkah Menghadapi Hubungan Toxic

Langkah pertama dalam menghadapi hubungan toxic adalah menyadari dan mengakui bahwa hubungan tersebut memang tidak sehat. Kesadaran ini penting sebagai titik awal untuk menentukan pilihan: bertahan dengan batasan yang jelas, atau berani melepaskan demi keselamatan mental dan emosional.

“Kalau tidak ada kewajiban untuk bertahan, ya lebih baik cabut,” tegas dr. Hilda. Namun, ia juga menyadari bahwa tidak semua orang bisa langsung pergi, terutama jika hubungan toxic terjadi di tempat kerja atau dalam keluarga.

Dalam situasi seperti itu, seseorang harus mampu menetapkan boundaries atau batasan yang tegas. “Kita perlu menetapkan batasan yang jelas supaya diri kita tetap aman,” lanjutnya.

Menetapkan batasan bisa dilakukan dengan cara tidak selalu menuruti keinginan orang lain, menjaga jarak emosional, serta memprioritaskan hal-hal yang bisa dikendalikan. “Yang penting kita tahu mana yang bisa kita kontrol dan mana yang tidak. Kalau kita sudah tahu batasnya, hidup jadi lebih tenang,” tambahnya.

Dengan memahami batas diri, seseorang dapat tetap bertahan dalam lingkungan toxic tanpa kehilangan jati dirinya. Ini menjadi cara bertahan sehat sambil mempersiapkan langkah untuk benar-benar keluar dari situasi tersebut di kemudian hari.

Belajar Mencintai dan Menghargai Diri Sendiri

Pada akhirnya, keluar dari hubungan toxic tidak hanya soal menjauh dari seseorang, tetapi juga tentang membangun kembali hubungan yang baik dengan diri sendiri. Menurut dr. Hilda, seseorang perlu belajar menghargai dan mencintai dirinya agar tidak kembali terjebak dalam pola yang sama.

“Kalau kita bisa menghargai diri, kita akan tahu bahwa kita berhak mendapatkan hubungan yang sehat,” ungkapnya. Ketika seseorang memiliki rasa percaya diri dan harga diri yang kuat, ia tidak lagi mencari validasi dari orang lain.

Hubungan yang sehat seharusnya memberi ruang untuk tumbuh, bukan membuat seseorang merasa hancur perlahan. Jika sebuah relasi justru menimbulkan rasa takut, cemas, dan tidak berharga, itu tanda bahwa hubungan tersebut perlu ditinjau kembali.

Setiap orang berhak untuk bahagia dan memiliki relasi yang mendukung pertumbuhan dirinya. Meninggalkan hubungan toxic bukan berarti lemah, melainkan langkah berani untuk menyelamatkan diri dari kehancuran yang lebih dalam.

Belajar mengenali tanda-tanda hubungan toxic dan memahami dampaknya adalah kunci agar tidak terjebak lebih jauh. Dengan mengenali batas, menetapkan prioritas diri, dan menumbuhkan cinta pada diri sendiri, siapa pun bisa lepas dari lingkaran hubungan yang merugikan.

Hubungan yang sehat bukan tentang siapa yang paling mencintai, tapi tentang bagaimana dua orang saling menghargai dan bertumbuh bersama. Jika hubungan justru membuatmu kehilangan makna diri, mungkin saatnya berhenti bertahan dan mulai memilih dirimu sendiri.

Terkini