JAKARTA — Lonjakan jumlah klaim program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) pada kuartal I-2025 menjadi sorotan utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan). Fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terus meningkat disebut sebagai penyebab utama naiknya nilai pembayaran klaim JKP dibandingkan tahun sebelumnya.
Berdasarkan data yang dirilis BPJS Ketenagakerjaan, hingga Maret 2025, jumlah klaim JKP telah mencapai Rp161,005 miliar, dengan total 35.493 kasus klaim yang diajukan. Angka ini melonjak 100,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Memang peningkatan klaim disebabkan meningkatnya juga pekerja-pekerja yang mengalami PHK,” ujar Deputi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan, Oni Marbun.
BPJS Ketenagakerjaan mencatat bahwa nilai klaim JKP di kuartal I-2025 ini hampir menyentuh setengah dari total klaim sepanjang tahun 2024 yang mencapai Rp380 miliar. Hal ini menunjukkan tingginya tekanan pada sektor ketenagakerjaan nasional sejak awal tahun.
Tak hanya program JKP, secara keseluruhan nilai pembayaran klaim di BPJS Ketenagakerjaan selama kuartal pertama tahun ini juga meningkat signifikan. Total pembayaran klaim mencapai Rp15,76 triliun, berasal dari 1,1 juta kasus pengajuan klaim dari berbagai program yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan. Jika dibandingkan dengan kuartal I-2024, jumlah tersebut naik sekitar 20 persen.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa banyak pekerja di Indonesia, baik di sektor formal maupun informal, menghadapi risiko ketidakpastian kerja yang lebih tinggi tahun ini. Terlebih, data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menunjukkan bahwa hingga 23 April 2025, jumlah kasus PHK yang tercatat secara nasional telah mencapai 24.036 kasus.
Sebagai respons terhadap lonjakan ini, BPJS Ketenagakerjaan menegaskan komitmennya dalam memberikan perlindungan sosial kepada seluruh pekerja Indonesia. “Kami siap memberikan perlindungan sosial ketenagakerjaan kepada seluruh pekerja Indonesia apapun risikonya dan pekerjaannya,” jelas Oni.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa penyelenggaraan program JKP merupakan bentuk nyata kehadiran negara dalam menjamin hak-hak pekerja yang kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba. Perlindungan ini mencakup uang tunai, akses informasi pasar kerja, serta pelatihan kerja yang bertujuan untuk membantu peserta kembali mendapatkan pekerjaan.
Program JKP sendiri merupakan salah satu program jaminan sosial yang mulai diimplementasikan oleh BPJS Ketenagakerjaan sejak 2022. Tujuannya adalah memberikan jaring pengaman bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan karena PHK, agar mereka tetap memiliki penghasilan sementara serta dapat meningkatkan kompetensi mereka untuk memasuki pasar kerja kembali.
Namun, meningkatnya klaim ini juga menjadi sinyal peringatan bagi dunia usaha dan pemerintah untuk lebih waspada terhadap kondisi perekonomian yang berdampak pada stabilitas kerja. Sektor industri yang mengalami perlambatan, serta dinamika global yang mempengaruhi permintaan dan ekspor, bisa menjadi faktor yang memicu terjadinya PHK massal.
BPJS Ketenagakerjaan pun mendorong perusahaan untuk lebih aktif dalam mendaftarkan seluruh pekerjanya dalam program-program jaminan sosial, termasuk JKP. Dengan demikian, pekerja yang terkena dampak PHK bisa mendapatkan perlindungan yang memadai, dan tidak terjebak dalam situasi ekonomi yang lebih sulit.
“Kami terus mengedukasi perusahaan dan pekerja untuk memahami manfaat dari program JKP ini, agar ketika risiko terjadi, mereka tidak panik karena telah memiliki perlindungan,” tambah Oni.
Di sisi lain, BPJS Ketenagakerjaan juga tengah mengoptimalkan pengelolaan dana jaminan sosial untuk memastikan keberlanjutan dan kecukupan manfaat yang diberikan. Sejalan dengan itu, lembaga ini menargetkan hasil investasi mencapai Rp61 triliun pada tahun 2025 sebagai bagian dari upaya memperkuat ketahanan dana jaminan sosial di tengah meningkatnya klaim.
Dengan terus meningkatnya kasus PHK dan klaim JKP, kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan BPJS Ketenagakerjaan menjadi krusial dalam menciptakan sistem perlindungan sosial ketenagakerjaan yang tangguh dan adaptif terhadap dinamika pasar kerja.