JAKARTA - Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan konflik agraria yang berkepanjangan antara Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya (KTHPS) dengan perusahaan kelapa sawit PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART). Pendekatan penyelesaian konflik kali ini menempatkan hak asasi manusia (HAM) sebagai pijakan utama dalam mencari solusi adil bagi semua pihak yang terlibat.
Hal tersebut disampaikan Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Mugianto, saat berdialog langsung dengan kelompok masyarakat petani Padang Halaban di Labuhanbatu Utara. Dalam pertemuan tersebut, Mugianto menyatakan akan menindaklanjuti aduan warga bersama kementerian terkait, seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Tak boleh ada intimidasi terhadap warga dalam menyelesaikan konflik atas hak akan tanah garapan di Padang Halaban ini,” tegas Mugianto.
Meskipun kementerian yang dipimpinnya tidak berhubungan langsung dengan isu pertanian, kehadirannya dimaksudkan untuk mendengarkan keluhan masyarakat secara langsung. Dia berharap dialog ini dapat membuka ruang masukan yang konstruktif guna mengakhiri sengketa yang telah berlangsung lama.
Menurut Mugianto, persoalan yang terjadi di Padang Halaban sesungguhnya merupakan masalah kemanusiaan. Karenanya, penyelesaiannya harus ditempuh dengan cara-cara damai, tanpa kekerasan maupun intimidasi.
“Masyarakat dan publik sudah mengetahui masalah ini hingga sampai ke dewan HAM PBB di Jenewa. Namun kami berharap penyelesaian tidak perlu berlarut hingga tingkat internasional,” ujar Mugianto.
Dia menambahkan, “Dalam persoalan Hak Guna Usaha (HGU), kami akan berupaya mencari jalan terbaik dengan tetap patuh terhadap aturan hukum yang berlaku.”
Sejarah dan Harapan Warga Padang Halaban
Ketua KTHPS, Misno, menyampaikan harapannya agar Kementerian HAM dapat membantu masyarakat mendapatkan kembali hak atas tanah yang selama ini mereka perjuangkan. Misno menceritakan sejarah panjang perjuangan warga yang merupakan eks pekerja perkebunan perusahaan asing, yang mulai membangun kampung sejak lima tahun pasca kemerdekaan Indonesia.
“Kakek dan nenek serta orang tua saya bersama ratusan eks pekerja perkebunan mulai membangun perkampungan ini untuk menjadi tempat tinggal dan ruang berteduh di hari tua,” kenangnya dengan suara bergetar.
Pada waktu itu, pemerintah memberikan surat tanda kepemilikan tanah kepada masing-masing warga, dengan total wilayah sekitar 3.000 hektar yang kemudian dibagi menjadi enam desa. Namun beberapa tahun kemudian, pemerintah mengumpulkan kembali surat-surat tersebut dengan janji memperbaharui, tetapi surat-surat itu tidak pernah dikembalikan.
“Akibatnya, kami diusir paksa dari tanah yang telah kami bangun dengan susah payah,” ujar Misno. “Kami terus berjuang walau kini hanya mampu menguasai kembali lahan seluas 83,5 hektar.”
Saat ini, sekitar 320 kepala keluarga tinggal dan mengolah lahan tersebut sebagai objek sengketa dengan perusahaan.
Perlunya Bukti dan Pendekatan Konkret dari Pemerintah
Quadi Azam, Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan (SIKAP), menegaskan perlunya Kementerian HAM menunjukkan langkah konkret dalam mendorong perusahaan seperti PT SMART untuk mengadopsi prinsip-prinsip HAM dalam bisnisnya.
“Kementerian HAM harus mendorong kebijakan yang berpihak pada penegakan, pemenuhan, dan pemulihan hak asasi manusia di lokasi konflik ini dan di wilayah konflik lainnya di Sumatera Utara maupun seluruh Indonesia,” ujar Quadi kepada Mongabay.
Menurut Quadi, Menteri HAM perlu melakukan kajian mendalam dan memastikan pelaksanaan mandat internasional seperti UN Guiding Principles on Business and Human Rights. Hal ini mencakup bagaimana perusahaan menghormati hak asasi manusia, menyelesaikan dampak pelanggaran, dan memutus rantai pelanggaran tersebut.
“Walaupun ada putusan hukum, persoalan HAM lebih luas terkait masa depan penegakan hak asasi manusia di Indonesia,” kata Quadi. Ia berharap pemerintahan saat ini dapat membawa pendekatan baru dalam penyelesaian konflik agraria secara damai dan berkeadilan.
Quadi juga mengimbau Menteri HAM untuk mengoordinasikan upaya penyelesaian konflik antara perusahaan dan masyarakat dengan kementerian lain, terutama yang berhubungan dengan BUMN dan agraria, agar solusi yang diberikan tidak ego sektoral.
“Kanwil HAM di Sumatera Utara harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan instansi terkait seperti ATR/BPN. Sumut pun sudah memiliki Peraturan Gubernur tentang Gugus Tugas Daerah Bisnis dan HAM untuk mendorong penyelesaian konflik ini,” jelasnya.
Konflik agraria di Padang Halaban yang melibatkan KTHPS dan PT SMART menjadi sorotan serius pemerintah pusat dan masyarakat sipil. Pendekatan berbasis HAM dan keterlibatan lintas kementerian diharapkan mampu menjadi jalan keluar yang adil dan berkelanjutan bagi warga yang telah lama memperjuangkan hak atas tanahnya.
Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah dan pengawasan ketat dari masyarakat, konflik agraria di Padang Halaban bisa menjadi contoh penyelesaian sengketa agraria yang bermartabat dan berkeadilan di Indonesia.